Keywords Sabda pandhita ratu, leader, leadership, learning, Yogyakarta puppet 1. Pendahuluan Dalam etika Jawa dikenal satu ungkapan yang berbunyi "sabda pandhita ratu, tan kena wola-wali". Secara harfiah, artinya adalah "ucapan pendeta (dan) raja, tidak boleh diulang-ulang". Maknanya adalah bahwa seorang Sabda pandita ratu tan kena wola-wali" artinya titah atau sabda raja dan ulama/pandita sekali jadi, tak boleh berubah-ubah. Yohanes menjadi korban kekejian raja yang tidak bijaksana. Ia malu mencabut sumpahnya dan memilih Yohanes dikorbankan. Hati-hati kalau kita terlalu bahagia sampai lupa diri. Kita tidak mampu mengontrol ucapan dan Sebagaiseorang pemimpin yang mengaku memegang falsafah jawa, tentu saja tuan juga memegang falsafah "sabda pandita ratu, tan kena wola-wali" (seorang raja atau pemimpin harus bisa di pegang kata-katanya). Sekali lagi kamimengingatkan, pada tanggal 24 Juli 2019, tuan presiden mengatakan jangan membangun (bandara) di lokasi rawan bencana. Harus"Sabda pandita ratu." Dalam etika Jawa dikenal satu ungkapan sabda pandhita ratu, "tan kena wola-wali," yang dapat dimaknai bahwa seorang pemimpin haruslah konsekuen untuk mewujudkan apa yang telah diucapkan. Kristalisasi perlunya pemimpin yang memiliki sifat bawa laksana. Sabda pandita ratu, tan kena wola-wali." Kalimat tersebut adalah dasar dari dasar, inti dari inti pemerintahan Jawa. Jika diterjemahkan secara umum, kalimat tersebut berarti "sabda raja dan pemuka agama tidak boleh plin-plan." Falsafah yang dalam, teduh, namun kuat dan perkasa. DDRmIo. Jakarta - Falsafah Jawa berbunyi "sabda pandita ratu tan kena wola wali". Falsafah tersebut bermakna bahwa seorang raja atau seorang pemimpin presiden tidak boleh berganti ucapan atau keputusan, karena keputusan seorang pemimpin sekali diucapkan, maka ucapannya akan menjadi pedoman, sumber rujukan semua orang, baik bagi pejabat negara yang menjalankan roda pemerintahan maupun kepada rakyat sebagai warga negara. Artinya, seorang presiden ditempatkan sebagai tokoh utama dan paling strategis dan harus jalankan oleh para pembantu-pembantu presiden. Dalam konteks keindonesiaan, falsafah tersebut telah diadopsi dalam bingkai ketatanegaraan, yakni dalam kesepakatan menganut sistem presidensial. Jika ada yang mengatakan enak benar jadi presiden, ya memang begitulah konsekuensi pilihan negara yang sepakat untuk menguatkan sistem presidensial. Konsekuensi logisnya adalah menempatkan presiden sebagai tokoh utama dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan, sehingga keputusan dan arahan presiden harus dijalankan oleh IlusiSistem presidensial yang dianut Indonesia menempatkan presiden sebagai tokoh utama dan wajib diikuti oleh bawahannya tinggal ilusi belaka. Contoh, beberapa hari yang lalu, Presiden Joko Widodo dalam menyikapi polemik Tes Wawasan Kebangsaan TWK pegawai KPK menjalankan apa yang disebut "sabda pandita ratu". Dalam pidatonya, presiden memberikan arahan yang berbunyiKomisi Pemberantasan Korupsi, KPK, harus memiliki SDM yang baik dan berkomitmen dalam upaya pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, pengalihan status KPK menjadi ASN harus menjadi bagian upaya sistem pemberantasan korupsi yang lebih sistematis. hasil tes wawasan kebangsaan hendaknya sebagai masukan perbaikan KPK, baik kepada Individu-individu maupun institusi KPK dan tidak serta merta menjadi dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes. Kalau dianggap ada kekurangan, saya berpendapat, masih ada peluang untuk memperbaiki, melalui pendidikan wawasan kebangsaan. Dan perlu dilakukan perbaikan pada level individual maupun organisasi. Saya sependapat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua UU KPK, yang mengatakan bahwa proses pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN. Saya minta para pihak yang terkait, khususnya pimpinan KPK, Kemen PAN RB dan Kepala BKN untuk merancang tindak lanjut 75 pegawai KPK yang tidak lulus tes dengan prinsip-prinsip yang saya sampaikan tadi. Alih-alih menjalankan perintah presiden, KPK, Badan Kepegawaian Nasional BKN, Kemenkumham, dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mengabaikan perintah Presiden. Mereka memilih untuk memutuskan 51 pegawai KPK tidak dapat diangkat menjadi ASN, sementara 24 pegawai dinyatakan masih dapat itu, bukannya berdarah-darah pasangan badan terdepan untuk mempertahankan anak buah agar tetap sebagai pegawai KPK, pada saat jumpa pers di Gedung BKN, Komisioner KPK menyatakan bahwa dari 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat hasil wawasan kebangsaan, menghasilkan 24 pegawai yang masih dimungkinkan dilakukan pembinaan dan 51 pegawai KPK warnanya sudah merah, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan sebuah bahwa 51 pegawai KPK yang sudah memiliki rapor merah, sehingga tidak dapat dibina lagi merupakan kesalahan fatal dan offside. Padahal kewenangan pembinaan ASN ada di tangan presiden. Coba lihat Peraturan Presiden Nomor 17 tahun 2020 tentang Management ASN, Pasal 3 Ayat 1 Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan PNS berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Garam di LautSaya berpendapat bahwa TWK yang dilakukan kepada pegawai KPK tersebut sama dengan "nguyahi banyu segara" alias menyebar garam di laut. Tes wawasan kebangsaan yang seharusnya tidak perlu diadakan, tetapi ngotot diadakan. Artinya TWK ini adalah proses yang mengada-ada. Apakah ini fiktif ? Kalau merujuk pada Putusan MK tentang Pengujian UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua UU KPK, tentu ini bukan fiktif, karena tidak terdapat dalam katanya, Tes Wawasan Kebangsaan tersebut berfungsi sebagai tool untuk mengukur seberapa besar dukungan, kesetiaan terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintah yang sah, aspek keterpengaruhan terhadap lingkungan dan aspek pribadi keyakinan, nilai dan motivasi pegawai KPK akibat Revisi UU KPK yang mensyaratkan bahwa pegawai KPK menjadi yang mengada-ada itu semakin terang, yang ada hanyalah upaya penyingkiran orang yang berintegritas dan jujur tanpa pesanan dalam upaya pemberantasan korupsi. Maka sangat tepat jika muncul slogan "Berani Jujur Dipecat". Sangat mustahil jika penyidik-penyidik yang telah lama di KPK, belasan tahun di KPK, yang telah banyak melakukan OTT, telah terbukti menangani kasus korupsi besar di Indonesia tetapi tidak memiliki jiwa nasionalisme. Sungguh tidak mungkin jika pegawai KPK yang membangun jaringan antikorupsi di daerah, membangun sistem antikorupsi di lintas lembaga, lintas partai, tetapi tidak memiliki rasa cinta terhadap NKRI dan setia terhadap patut dipertanyakan adalah apakah kerja-kerja nyata pemberantasan korupsi bukan cerminan rasa cinta terhadap NKRI? Apakah dengan menangkap maling negara bukan indikator rasa setia terhadap Pancasila? Apakah negara ini hanya mengakui bahwa orang yang setia terhadap bangsa adalah orang-orang yang lantang secara verbal mengucap lafal "NKRI HARGA MATI"? Ah, sudahlah!Merintangi Proses PenyidikanKita ketahui bersama bahwa dari 75 pegawai yang tidak lulus TWK ini adalah penyidik independen KPK. Saat ini mereka penyidik independen KPK ini sedang menangani kasus-kasus besar, bansos Covid-19 mantan Menteri Soaial Juliari Batubara, kasus bibit benih lobster Eddy Prabowo Mantan Menteri Kelautan, kasus Bupati Tanjung Balai yang diduga menyeret Komisioner KPK, dan beberapa kasus besar lainnya. Keputusan Komisioner KPK yang meminta 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus TWK untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan merupakan wujud nyata upaya merintangi proses penyidikan obstruction of justice, karena penuntasan kasus-kasus besar yang sedang mereka tangani pasti akan Syamsu Hidayat Badan Pekerja MCW Malang mmu/mmu “Sabda pandita ratu, tan kena wola-wali.” Kalimat tersebut adalah dasar dari dasar, inti dari inti pemerintahan Jawa. Jika diterjemahkan secara umum, kalimat tersebut berarti “sabda raja dan pemuka agama tidak boleh plin-plan.” Falsafah yang dalam, teduh, namun kuat dan kita dalami, kalimat ini adalah pengingat bagi raja atau pemimpin saat bersikap. Seorang raja dan pemimpin harus tegas dalam mengambil keputusan. Tidak ada istilah plin-plan atau berubah-ubah kata. Seorang raja atau pemimpin perlu ingat, setiap ucapan yang dikeluarkan adalah pedoman bagi rakyatnya. Keputusan yang plin-plan dapat menimbulkan kebingungan dalam falsafah ini benar dihayati? Kita bisa memahami falsafah ini dari kisah rakyat tentang Kyai Ageng Prawiro Purbo. Menurut kisah ini, Ndoro Purbo adalah keponakan dari Sri Sultan HB VII. Blio dikenal sebagai sosok yang membumi, jail, namun digdaya. Kejahilan ini menyebabkan Sultan jengah dan mengatai Ndoro Purbo sebagai orang yang terjadi? Seketika itu juga Ndoro Purbo menjadi “orang gila”. Blio berakhir dengan hidup menggelandang. Banyak pihak yang menyatakan bahwa Ndoro Purbo menjadi gila sebagai bentuk kepatuhan pada sabda Sultan. Jika Sultan sudah berkehendak agar Ndoro Purbo menjadi gila, Ndoro Purbo akan gila. Inilah contoh ekstrem dari pemaknaan Sabda Pandita ini adalah pisau bermata dua bagi seorang raja atau pemimpin. Segala keputusan yang diambil akan diterima oleh rakyat sepenuh hati. Jika raja tersebut bijaksana, keputusannya akan berbuah manis bagi masyarakatnya. Namun, raja yang lalim akan membuahkan keputusan yang merusak hidup ada satu lagi jenis raja dalam bersabda. Dia adalah raja yang plin-plan. Raja plin-plan akan melahirkan suasana yang tidak menentu. Ketidakpastian dari keputusan raja yang plin-plan ini tidak pernah membawa efek positif bagi rakyatnya. Jika sabdanya saja plin-plan, bagaimana rakyat dapat berpegang pada sabda sang raja?Oke, saya pikir penjelasan tentang konsep falsafah ini sudah cukup. Sekarang mari kita pindah suasana. Dari kondisi kebatinan dan menilik masa lalu menuju kondisi yang nyata dan yang sedang kita alami. Yang saya maksud adalah kondisi masyarakat Jogja saat diterpa pageblug Covid-19. Dan tentu kita tidak akan jauh-jauh dari pusat pemerintahan masih hangat dalam pikiran kita tentang pencapaian Jogja. Pada Juli 2020, Jogja mendapat penghargaan lisan dari Presiden Joko Widodo. Menurut blio, Jogja tepatnya DIY adalah provinsi terbaik dalam penanganan Covid-19. Tentu masyarakat berbahagia. Naik pula kebanggaan masyarakat pada figur pemimpin rakyat Jogja, yaitu Sri Sultan HB X. Bahkan, banyak warga Jogja yang menyarankan provinsi lain mengikuti jejak daerah istimewa ini. Bau-bau congkaknya sangat sehari sebelum tulisan ini saya tulis, terjadi pecah rekor penambahan kasus Covid-19. Pada hari Sabtu 19/9/2020, terdapat tambahan 74 kasus baru terkonfirmasi Covid-19 di DIY. Menurut juru bicara Pemda DIY untuk penanganan Covid-19, Berty Murtiningsih, sebelumnya penambahan kasus tertinggi di DIY adalah 67 mirisnya lagi, sebelum lonjakan ini juga ditemukan kasus terkonfirmasi di area Malioboro. Bahkan ada satu pedagang kaki lima yang meninggal dunia serta terkonfirmasi positif. Jika wilayah jujugan pariwisata Jogja saja menjadi kluster penyebaran Covid-19, artinya penyebaran virus ini tidak boleh disepelekan. Lalu bagaimana Sri Sultan HB X selaku gubernur dan raja Jogja menanggapi ini?Dari hasil liputan Harian Jogja, Sultan menyatakan, “Ora papa nek positif yo wes nang rumah sakit tidak apa-apa kalau positif ya dirawat di rumah sakit.” Sultan juga mengatakan saat ini lebih baik beradaptasi karena masyarakat butuh pemasukan. “Kita adaptasi saja jangan menakut-nakuti, teneh kalau semua ditutup, rakyat Jogja laper mengko.”Uhm… Mungkin Anda bertanya-tanya dengan maksud pernyataan ini. Saya pribadi tidak berani berspekulasi banyak. Namun, secara gamblang, Sultan menekankan bahwa kawula Jogja harus beradaptasi. Nah, beradaptasi dengan apa? Dengan kebiasaan baru atau dengan penambahan angka positif Covid-19?Oke, kita kembali dalam falsafah sabda pandita ratu tadi. Sultan menyatakan bahwa jangan ada yang menakut-nakuti perihal Covid-19. Ingat, perkataan dan keputusan Sultan adalah panduan bagi rakyat Jogja. Jadi wajar jika ada kesan meremehkan dari masyarakat. Toh, Sultan bilang jangan menakut-nakuti Sultan juga memberikan pernyataan pada wartawan saat ada pedagang sayur di Beringharjo positif Covid-19. “Ya saya kira wajar aja. Kita jangan menganggap Corona Covid-19 itu terlalu berbahaya.” Sultan juga menambahkan “Kita adaptasi aja, sakit ya sudah di rumah sakit. Karena pandemi ini tidak peak masuk puncak terus turun. Jadi selesainya kapan kita tidak tahu.”Wah, pernyataan ini sangat extraordinary. Ketika pemerintah pusat dan daerah lain berlomba-lomba mengingatkan Covid-19 berbahaya, Sultan menyatakan agar kita rakyat Jogja jangan menganggap pandemi ini terlalu berbahaya. Tentu pernyataan ini menimbulkan sabda pandita ratu tan kena wola-wali. Sultan tidak akan mencla-mencle dalam membuat pernyataan. Jadi, warga Jogja telah mendapat panduan dari Sultan, bahwa Covid-19 tidak terlalu berbahaya. Tersenyumlah, pernyataan ini sangat menyenangkan bagi warga Jogja. Ketika daerah lain bersiaga bahkan ingin menerapkan PSBB kembali, warga Jogja diajak untuk memandang Covid-19 tidak terlalu berbahaya. Jadi, wajar jika tidak ada sikap khusus selain mematuhi protokol kesehatan. Pokoknya loss doll saja, Sultan menyatakan Covid-19 tidak terlalu protokol kesehatan di wilayah Malioboro sesudah ada kasus positif, Sultan juga menyampaikan “Protokolnya ora lalu itu aja, itu Malioboro merupakan tanggung jawab Pak Wali Kota Jogja.” Pernyataan ini seperti “lempar masalah”, tapi ya sudahlah. Ingat, sabda pandita ratu. Halo, Pak Haryadi, njenengan dicari Ngarso tidak ada pernyataan yang lebih dipertanyakan “sabda pandita ratu”-nya selain saat Sultan menyatakan bahwa Covid-19 sama seperti demam berdarah DB. Sultan menyatakan, “Jadi jangan berasumsi kalau kena Corona sepertinya bikin geger seluruh Yogyakarta, dianggap saja sama DB juga sama kok.”Baik, mari kita pahami secara positif. Pasti Ngarso Dalem tidak ingin kepanikan berlebihan ketika muncul kasus Covid-19. Tentu harapan ini juga baik bagi kita rakyat Jogja. Namun, apakah harus menyamakan antara Covid-19 dengan DB? Apakah pernyataan ini pantas diungkapkan pada masa di mana rakyat bersama-sama saling mengawasi dan menjaga?Menyatakan bahwa Covid-19 sama seperti DB bisa menjadi bola liar bagi masyarakat Jogja. Dan terbukti dari tanggapan netizen, banyak yang menyetujui sekaligus mengamini untuk tidak takut pada Covid-19. Bahkan banyak yang menyatakan penanganan Covid-19 selama ini terlalu berlebihan. Nah kan jadi loss doll. Pasti JRX tersenyum ketika membaca berita saya, falsafah sabda pandita ratu tengah diuji. Ngarso Dalem sedang dihadapkan pada kondisi yang mana kepemimpinan dan arahan blio menjadi haluan bersama rakyat Jogja. Namun, bagaimana falsafah ini dihadapkan pada pernyataan blio yang terkesan menggampangkan dan bertolak belakang dengan usaha penanganan Covid-19? Apakah Ngarso Dalem tetap dapat mempertahankan sikap tan keno wola-wali?Ngomong-ngomong, saya KTP Jogja. Lahir juga di Jogja. Trah Jogja juga. Bukan apa-apa, hanya sekadar memberi tahu. JUGA Menyuruh Orang untuk Cari Kerja biar Nggak Protes Melulu Itu Aneh dan tulisan Prabu Yudianto Mojok merupakan platform User Generated Content UGC untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di diperbarui pada 22 September 2020 oleh Rizky Prasetya Sabda pandita ratu tan kena wola-wali. Ungkapan ini mengandung salah satu kualitas, yang wajib dimiliki oleh seorang pemimpin sejati. Apa Itu Sabda Pandita Ratu? Sabda pandita ratu dan budi bawalaksana adalah dua hal penting dalam khasanah kepemimpinan Jawa. Kedua kualitas ini merupakan modal penting untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil. Sabda pandita ratu tan kena wola-wali. Artinya, ucapan seorang pendeta atau raja tidak boleh berubah-ubah. Tidak boleh mencla-mencle. Apa yang dikatakan, maka itulah yang akan menjadi pegangan bagi rakyatnya. Apa yang telah diungkapkan, maka itulah yang harus ia laksanakan. Demikian halnya dengan budi bawalaksana. Pemimpin yang baik adalah yang luhur ing budi, jumbuh antaraning bawa lan laksana’. Alias berbudi luhur, dan sesuai antara ucapan dan tindakannya. Kualitas ini bisa dilihat dari iklan yang dipajang manakala pemilihan umum menjelang. Mampukah para pemimpin itu menjaga amanah? Terpenuhi atau tidakkah janji-janji yang diutarakan selama masa kampanye berjalan? Itulah yang akan membuktikan, berhasil tidaknya pemimpin yang bersangkutan. Makna Sabda Pandita Ratu Istilah sabda artinya kata, ucapan, janji atau pernyataan. Sedangkan pandhita merupakan simbol kejujuran, yang tidak pernah berbohong ataupun ingkar. Adapun istilah ratu merujuk pada pemangku kekuasaan. Sekali bersabda, maka apa yang dikatakan seorang raja akan didengar oleh rakyatnya sebagai harapan. Ibarat stempel, sekali dicap jadilah untuk selamanya. Sebaik-baiknya seorang raja adalah yang bermurah hati. Gemar berderma kepada rakyat, serta menentukan kebijakan yang menguntungkan kaum bawah. Raja yang baik juga gemar memenuhi janji. Tetapi tentu tidak semua pemimpin akan seperti itu. Ada yang berjanji menghentikan korupsi, tetapi selama pemerintahannya korupsi justru merajalela. Esuk dhele sore tempe, istilahnya. Alias pagi kedelai, sore tempe’. Ketidaksesuaian antara apa yang dikatakan, dengan apa yang dilakukan, merupakan tanda, bahwasannya pemimpin tersebut hanya berkuasa demi kekuasaan semata. Bagi mereka kekuasaan adalah puncaknya. Padahal dari sudut pandang rakyat, kekuasaan adalah awal dan prosesnya. Apa yang terjadi selama dan setelah kekuasaan itu berjalan, itulah yang dapat dijadikan dasar penilaian. Karena itu tentukan pilihan Anda dengan bijak. Seperti apa pemimpin yang Anda inginkan? Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini Atau Hubungi Admin Mas Wahyu dibawah ini Bacaan Paling Dicarisabda pandita ratu Dalam dunia orang Jawa kita mengenal adanya ungkapan etika yang berbunyi"Sabda pandhita ratu, tan kena wola - wali" dan "Berbudi Bawalaksana". Dalam pengartian bebas ungkapan Sabda pandhita ratu tan kena wola - wali dapat diartikan ucapan pendeta/raja, tidak boleh diulang dan berbudi bawalaksana dapat berarti mempunyai sifat teguh memegang janji, setia pada janji atau secara harafiah bawalaksana dapat juga diartikan satunya kata dan perbuatan. Dua ungkapan luhur, yang mengingatkan kepada setiap orang akan pentingnya Kesetiaan. Setia dengan apa yang telah dipilih, setia dengan apa yang diucapkan, dan dijanjikan seberapapun berat resiko yang harus ditanggung oleh pilihan itu. Dalam dunia pewayangan ada cukup banyak kisah yang melukiskan sikap tersebut. Salah satu contohnya adalah kisah saat prabu Dasarata akan mewariskan tahta kerajaan kepada keturunannya. Di ceritera prabu Dasarata mempunyai empat orang anak yaitu Rama, Bharata, Laksamana dan Satrugna. Dari keempat saudaranya, Rama adalah anak tertua yang dilahirkan oleh istri pertamanya yang bernama dewi Ragu atau dewi Sukasalya, paling pandai dan bijaksana juga berpengalaman. Maka sudah wajar jika kemudian prabu Dasarata meletakkan harapan, anaknya tertua tersebut kelak yang akan melanjutkan tahtanya. Namun ternyata ada satu hal penting yang telah dilupakan oleh prabu Dasarata bahwa ia pernah berjanji kepada istrinya yang lain yaitu dewi Kekeyi, bahwa dari keturunannyalah kelak tahta akan diwariskan. Diceritakan saat prabu Dasarata diingatkan oleh dewi Kekeyi menjadi sangat sedihlah hantinya. Hatinya hancur lebur oleh kesedihan. Sebagai raja yang besar, ia tahu tidak boleh mengingkari apa yang telah diucapkan/dijanjikan pada masa lalu. Tidak boleh! Betapapun beratnya. Maka dengan segala kesedihannya ia menyerahkan tahta kerajaan Ayodya kepada Bharata kemudian ia meninggal dalam kesedihannya itu. Selain kisah prabu Dasarata ada kisah - kisah lain yang menggambarkan situasi sulit oleh pilihan sikap tan keno wola - wali dan bawalaksana. Misalnya kisah prabu Sentanu Raja muda dari Astina yang memperistri seorang bidadari yaitu Dewi Gangga. Dewi Gangga bersedia menjadi istrinya dengan syarat prabu Sentanu tidak boleh mencampuri, apalagi mencegahnya apapun yang dia lakukan. Oleh karena keterikatan pada janji maka saat anaknya yang baru lahir dibuang selalu dibuang ke sungai Gangga, prabu Sentanu tidak dapat berbuat apa - apa. Ada banyak kisah lain misal Adipati Karno yang tetap membela Kurawa saat perang Baratayuda, walaupun ia tahu kurawa salah dan pandawa adalah adik tirinya. Karna terikat janji dengan Duryudana bahwa ia akan selalu membelanya. Dan masih banyak kisah lainnya. Ucapan atau janji memang berat. Maka setiap orang dituntut untuk selalu memikirkan secara jernih dan bijak apapun dan dalam situasi apapun sehingga setiap ucapan yang keluar dari mulut kita bijak pula. Ada ungkapan lain berbunyi "Orang yang dipegang adalah ucapannya". Artinya jelas, salah satu hal yang paling berharga dalam diri seseorang adalah ucapan. Seberharga apakah kita tergantung sejauh mana setiap ucapan yang keluar dari mulut kita menjadi kebenaran. Inilah sikap tan kena wola - wali dan bawalaksana. Satunya kata dan perbuatan. Dalam dunia orang Jawa kita mengenal adanya ungkapan etika yang berbunyi "Sabda pandhita ratu, tan kena wola - wali" dan "Berbudi Bawalaksana". Dalam pengartian bebas ungkapan Sabda pandhita ratu tan kena wola - wali dapat diartikan ucapan pendeta/raja, tidak boleh diulang dan berbudi bawalaksana dapat berarti mempunyai sifat teguh memegang janji, setia pada janji atau secara harafiah bawalaksana dapat juga diartikan satunya kata dan perbuatan. Dua ungkapan luhur, yang mengingatkan kepada setiap orang akan pentingnya Kesetiaan. Setia dengan apa yang telah dipilih, setia dengan apa yang diucapkan, dan dijanjikan seberapapun berat resiko yang harus ditanggung oleh pilihan dunia pewayangan ada cukup banyak kisah yang melukiskan sikap tersebut. Salah satu contohnya adalah kisah saat prabu Dasarata akan mewariskan tahta kerajaan kepada keturunannya. Di ceritera prabu Dasarata mempunyai empat orang anak yaitu Rama, Bharata, Laksamana dan Satrugna. Dari keempat saudaranya, Rama adalah anak tertua yang dilahirkan oleh istri pertamanya yang bernama dewi Ragu atau dewi Sukasalya, paling pandai dan bijaksana juga berpengalaman. Maka sudah wajar jika kemudian prabu Dasarata meletakkan harapan, anaknya tertua tersebut kelak yang akan melanjutkan tahtanya. Namun ternyata ada satu hal penting yang telah dilupakan oleh prabu Dasarata bahwa ia pernah berjanji kepada istrinya yang lain yaitu dewi Kekeyi, bahwa dari keturunannyalah kelak tahta akan diwariskan. Diceritakan saat prabu Dasarata diingatkan oleh dewi Kekeyi menjadi sangat sedihlah hantinya. Hatinya hancur lebur oleh kesedihan. Sebagai raja yang besar, ia tahu tidak boleh mengingkari apa yang telah diucapkan/dijanjikan pada masa lalu. Tidak boleh! Betapapun beratnya. Maka dengan segala kesedihannya ia menyerahkan tahta kerajaan Ayodya kepada Bharata kemudian ia meninggal dalam kesedihannya kisah prabu Dasarata ada kisah - kisah lain yang menggambarkan situasi sulit oleh pilihan sikap tan keno wola - wali dan bawalaksana. Misalnya kisah prabu Sentanu Raja muda dari Astina yang memperistri seorang bidadari yaitu Dewi Gangga. Dewi Gangga bersedia menjadi istrinya dengan syarat prabu Sentanu tidak boleh mencampuri, apalagi mencegahnya apapun yang dia lakukan. Oleh karena keterikatan pada janji maka saat anaknya yang baru lahir dibuang selalu dibuang ke sungai Gangga, prabu Sentanu tidak dapat berbuat apa - apa. Ada banyak kisah lain misal Adipati Karno yang tetap membela Kurawa saat perang Baratayuda, walaupun ia tahu kurawa salah dan pandawa adalah adik tirinya. Karna terikat janji dengan Duryudana bahwa ia akan selalu membelanya. Dan masih banyak kisah atau janji memang berat. Maka setiap orang dituntut untuk selalu memikirkan secara jernih dan bijak apapun dan dalam situasi apapun sehingga setiap ucapan yang keluar dari mulut kita bijak pula. Ada ungkapan lain berbunyi "Orang yang dipegang adalah ucapannya". Artinya jelas, salah satu hal yang paling berharga dalam diri seseorang adalah ucapan. Seberharga apakah kita tergantung sejauh mana setiap ucapan yang keluar dari mulut kita menjadi kebenaran. Inilah sikap tan kena wola - wali dan bawalaksana. Satunya kata dan perbuatan. Cetak Halaman Ini

sabda pandita ratu tan kena wola wali